AKHLAQ PRIBADI ( Shidiq, Amanah, Istiqomah )
BAB 1 Pendahuluan
A. Latar belakang ................................................................................
B. Rumusan masalah ...........................................................................
C. Maksud dan Tujuan .........................................................................
BAB 2 Pembahasan
SHIDIQ
A. Pengertian Shidiq.............................................................................
B. Bentuk-Bentuk Shidiq.......................................................................
AMANAH
A. Pengertian Amanah ........................................................................
B. Ruang Lingkup Amanah...................................................................
ISTIQOMAH
A. Pengertian istiqomah ......................................................................
B. Dalil-dalil istiqomah.........................................................................
C. Karakteristik perilaku istiqomah .....................................................
BAB 3 Penutup
Kesimpulan.......................................................................................
Daftar pustaka.............................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Setiap manusia yang lahir di dunia
ini, pasti membawa naluri yang mirip dengan hewan, letak perbedaannya karena
naluri manusia disertai dengan akal. Oleh karena itu naluri manusia dapat
menentukan tujuan yang dikehendakinya. Segala sesuatu itu dinilai baik atau
buruknya, terpuji atau tercela, semata-mata karena Al-Qur’an dan Sunnah, hati
nurani atau fitrah dalam bahasa al Qur’an memang dapat menjadi ukuran baik dan
buruk karena manusia di ciptakan oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid,
mengakui keesaannya (QS. Ar-Rum: 30-30).
Hati nurani manusia selalu
mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Allah SWT.
Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena
pengaruh dari luar misalnya pengaruh pendidikan, lingkungan, pakaian dan juga
pergaulan. Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertutup dan akal fikiran sudah
di kotori oleh sikap dan perilaku yang tidak terpuji. Namun bukan Cuma perilaku
yang harus diperbaiki asupan dalam tubuhpun harus dijaga agar tetap halal.
Karena itulah diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian akan kehalalan
produk pangan yang dikonsumsi umat Islam.
Dalam
era modern ini, dimana kehidupan sehari-hari dihadapkan dengan tantangan yang
semakin berat,kejahatan merajalela dimana-mana. Seorang muslim di tuntut untuk
dapat menghadapi era modern ini dengan sikap yang mencerminkan seorang muslim,
maka dari itu pengetahuan dan penerapan akhlaq pribadi sangat perlu di terapkan
kepada seorang muslim, agar tidak teroperosok kedalam jurang kesesatan yang
jelas terlihat terbuka lebar.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian shidiq, amanah, dan
istiqomah
2. Ciri-ciri orang yang shidiq, amanah,
dan istiqomah
3. Contoh perilaku shidiq, amanah, dan
istiqomah dalam kehidupan sehari-hari
C.
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas
mata kuliah Sertifikasi II di Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta. Sedangkan tujuan dari penulisan tugas ini adalah :
1. Untuk memahami Akhlaq pribadi
2. Untuk memahami maksud dari sidiq,
amanah, dan istiqomah
3. Untuk mengetahui karakteristik orang
yang sidiq, amanah, dan istiqomah
4. Untuk mengetahui dan mengamalkan
perilaku sidiq, amanah, dan istiqomah dalam kehidupan sehari-hari
BAB 2
PEMBAHASAN
SHIDIQ
A.
PENGERTIAN SHIDIQ
Shidiq
(ash-shidqu) artinya benar atau jujur,
lawan dari dusta atau bohong (al-kazib).
Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar lahir batin ; benar
hati (Shidq al-qalb), benar perkataan
(shidq al-hadits) dan benar perbuatan
(shidq al amal). Antara hati dan
perkataan harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan
perbuatan. (Yunahar : 2015)
Kecocokan atau
kesesuaian antara perkataan dan perbuatan adalah indikasi dari sifat jujur.
Lawan dari kejujuran adalah dusta atau berbohong. Sikap jujur adalah bagian
dari akhlak karimah (perilaku mulia). Kejujuran akan mengantarkan
pelakunya meraih derajat dan kehormatan yang tinggi, baik di mata Allah SWT maupun di mata sesama manusia. Kejujuran
akan mengantarkan seseorang meraih surga yang penuh kenikmatan dan senantiasa
berada dalam keridaan Allah SWT. Perihal bersikap jujur telah banyak
diterangkan dalam Al-Quran. Di antaranya terdapat dalam ayat-ayat berikut.
"Hai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar" (QS. at-Taubah : 119);
"Taat dan
mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah
tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jika mereka benar
(imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi
mereka" (QS. Muhammad : 21);
"Supaya
Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya,
dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima tobat mereka.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. al-Ahzab :
24);
"Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah
: 177).
Rasulullah ﷺ, lewat hadis-hadisnya juga menganjurkan
kepada umatnya agar senantiasa bersikap jujur. Di antara sabda Rasulullah ﷺ yang menerangkan tentang anjuran bersikap
jujur adalah sebagai berikut :
"Dari
Ibnu Mas'ud ra, dari Nabi ﷺ bahwa beliau
bersabda, 'Sesungguhnya kejujuran menunjukkan pada kebajikan dan kebajikan
menunjukkan jalan ke surga. Sesungguhnya seseorang yang jujur akan selalu
melakukan kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Dan sesungguhnya dusta menunjukkan pada kedurhakaan dan kedurhakaan menunjukkan
jalan ke neraka. Sesungguhnya seseorang yang berdusta akan selalu melakukan
kedustaan sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta'" (HR. Bukhari
Muslim).
Kejujuran
senantiasa mengarahkan umat manusia pada kebajikan, dan kebajikan akan
mengantarkan pelakunya meraih derajat tinggi di dalam surga. Seseorang yang
berlaku jujur akan selalu mempertahankan kejujuran itu hingga akhir hayatnya,
sampai dengan dia mendapatkan predikat orang yang sangat jujur, baik dalam
pandangan Allah maupun dalam pandangan sesama manusia. Sedangkan kedustaan
hanya akan mengantarkan seseorang pada kedurhakaan, yang pada akhirnya hanya
akan mengantarkan dirinya menjadi penghuni neraka. Demikian pula halnya orang
yang suka berdusta akan selalu berbuat dusta hingga dia mendapat predikat
pendusta. Karena seorang muslim hendaklah menghindari perbuatan dusta, sambil
berhias diri dengan sikap jujur dan dapat dipercaya sehingga dapat meraih
kedudukan yang mulia.
Rasulullah ﷺ bersabda :
"Terus
meneruslah dalam melakukan kejujuran, sekalipun kamu melihat kebinasaan di dalamnya. Sebab,
sesungguhnya dalam kejujuran terdapat keselamatan" (HR. Ibnu Abi
Dunya).
Seorang muslim
hendaknya selalu melakukan kejujuran sekalipun dirinya mengalami kehancuran,
mendapatkan ancaman maupun tekanan. Sebab, pada hakikatnya di dalam kejujuran
terdapat kesuksesan, keselamatan, dan kemuliaan. Hanya orang yang jujur sajalah
yang akan meraih derajat tinggi, kebahagiaan lahir dan batin, serta
keberhasilan yang luar biasa. Dalam hadis yang
diriwayatkan dari Hasan bin Ali bin Abi Talib, dia berkata :
"Aku hafal
sebuah hadis dari Rasulullah yang menegaskan, 'Tinggalkanlah apa yang meragukan
dirimu, beralihlah pada sesuatu yang tidak meragukan dirimu. Sesungguhnya
kejujuran adalah ketenangan dan kedustaan adalah keraguan'" (HR. Tirmizi).
Dalam masalah
perdagangan, Nabi ﷺ juga
memerintahkan agar umatnya jujur dalam jual beli. Melalui riwayat Abi Khalid
Hakim bin Hizam ra, beliau telah bersabda :
"Jual beli
adalah dengan khiar selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan
berterus terang, keduanya mendapat berkah dalam jual beli itu. Bila keduanya
menyembunyikan sesuatu dan berdusta, dihapuslah berkah jual belinya itu" (HR. Bukhari
Muslim).
B.
BENTUK-BENTUK SHIDIQ
1.
Benar perkataan (shidq al
hadits)
Orang yang selalu berkata benar akan dikasihi oleh Allah SWT
dan di percaya oleh masyarakat. Sebaliknya orang yang berdusta apalagi suka
berdusta, masyarakat tidak akan memercayainya. Berkat bohong termasuk salah
satu sifat orang munafik sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah ﷺ :
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga,
yaitu : apabila berkata, dusta ; bila berjanji, ingkar ; dan bila dipercaya
khianat” (Muttafaqun’alaih)
2.
Benar pergaulan (shidq
al-mu’amalah)
Seorang muslim akan selalu bermu’amalah dengan benar,
tidak menipu, tidak khianat dan tidak memalsu, sekalipun kepada nonmuslim.
Orang yang shidiq dalam mu’amalah jauh dari sifat sombong dan riya. Kalau
melakukan sesuatu dia lakukan karena Allah, kalau meninggalkan sesuatu juga dia
tinggalkan karena Allah. Dia tidak mengharapkan balas budi orang lain. Ia akan
selalu bersikap benar dengan siapapun, tanpa memandang kekayaan, kekuasaan atau
status lainnya. Barang siapa yang selalu bersikap shidiq dalam mu’amalahnya
maka dia akan menjadi kepercayaan masyarakat. Siapapun ingin bermuamalah dengannya.
3.
Benar kemauan (shidq al’azam)
Sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu, seorang muslim
harus mempertimbangkan dan menilai terlebih dahulu apakah yang dilakukannya
benar atau bermanfaat. Apabila yakin benar dan bermanfaat, dia akan melakukannya
tanpa ragu-ragu, tidak akan terpengaruh dengan suara kiri-kanan yang mendukung
atau mencelanya. Kalau menghiraukan semua komentar orang, dia tidak akan jadi
melaksanakannnya. Tetapi bukan berarti dia mengabaikan kritik, asal kritik itu
argumentatif dan konstruktif.
4.
Benar janji (shidq al-wa’ad)
Apabila berjanji, seorang muslim akan selalu menepatinya,
sekalipun dengan musuh atau anak kecil. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Barang siapa yang berkata kepada
anak kecil, mari kemari saya beri kurma, kurma ini. Kemudian dia tidak
memberinya, maka dia telah membohongi anak itu” (HR. Ahmad).
Ingkar janji juga termasuk salah satu sifat munafik sebagaimana
telah disebutkan dalam hadist diatas.
5.
Benar kenyataan (shidq
al-hal)
Seorang muslim akan menampilkan diri seperti keadan yang
sebenarnya. Dia tidak akan menipu kenyataan, tidak memakai baju kepalsuan,
tidak mencari nama, dan tidak pula mengada-ada. Rasulullah ﷺ bersabda
“Orang yang merasa kenyang dengan apa
yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu” (HR.
Muslim)
Artinya orang yang berhias dengan bukan miliknya supaya kelihatan
kaya sama seperti orang yang memakai dua kepribadian.
AMANAH
- PENGERTIAN
AMANAH
Amanah
secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) dari bahasa Arab dalam bentuk
mashdar dari (amina- amanatan) yang berarti jujur
atau dapat dipercaya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia amanah berarti pesan,
perintah, keterangan atau wejangan. Amanah menurut pengertian terminologi (istilah)
terdapat beberapa pendapat, diantaranya menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi,
Amanah adalah sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada
yang berhak memilikinya. Amanah dalam perspektif
agama Islam memiliki makna dan kandungan yang luas, di mana seluruh makna dan kandungan tersebut
bermuara pada satu pengertian yaitu setiap
orang merasakan bahwa Allah SWT senantiasa menyertainya dalam setiap urusan
yang dibebani kepadanya, dan setiap orang memahami dengan penuh keyakinan
bahwa kelak ia akan dimintakan pertanggung jawaban atas urusan tersebut
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah ﷺ :
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian akan
ditanya tentang kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya
tentang kepemimpinannya, seorang laki-laki adal pemimpin dalam keluarganya, dan
dia akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang wanita adalah pemimpin di
rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang pembantu
adalah pemimpin dalam memelihara harta tuannya dan ia akan ditanya pula tentang
kepemimpinannya”, (HR Imam Bukhori).
Sementara pengertian amanah menurut kaca mata
kebanyakan orang awam seringkali diletakan pada pemahaman yang sempit, yaitu
sebatas memelihara barang titipan, padahal makna hakikatnya jauh lebih besar
dan lebih berat dari makna yang diduga.
Amanah adalah sebuah kewajiban, di mana sudah
seharusnya semua orang Islam saling mewasiatinya dan memohon bantuan kepada
Allah SWT dalam menjaganya, bahkan ketika seseorang hendak bepergian sekalipun,
setiap saudaranya seharusnya berpesan kepadanya :
“Aku memohon kepada Allah SWT agar Ia terus menjaga agama engkau, amanah
dan akhir amalan engkau”,
(HR Imam Tirmidzi).
Sahabat Anas bin Malik berkata
:
“Rasulullah tidak pernah berkhutbah untuk kami kecuali ia mengatakan :
“Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama
bagi orang yang tidak pandai memeliharanya”, (HR Imam Ahmad bin Hambal).
- RUANG LINGKUP AMANAH
Di antara kandungan atau
cakupan makna amanah adalah :
1. Meletakkan
sesuatu pada tempatnya yang pantas, tidak memberikan sebuah jabatan kecuali
kepada seseorang yang berhak, dan tidak menyerahkan suatu tugas kecuali kepada
seseorang yang selalu berusaha meningkatkan kemapuannya dengan tugas yang
diembannya. Kepemimpinan dan tugas pekerjaan di mata agama Islam dipandang
sebagai amanah dan ini ditegaskan melalui beberapa pertimbangan, di antaranya
Diriwayatkan dari abu Dzar bahwasanya beliau berkata :
“Wahai Rasulullah mengapa anda tidak memberikan saya jabatan ?, beliau
mengatakan : “Rasulullah ﷺ lalu meletakkan tangannya di atas pundakku
seraya berkata : “Wahai Abu Dzar engkau ini lemah, dan jabatan itu adalah
amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi sebuah penghinaan dan
penyesalan nanti pada Hari Kiamat, kecuali bagi orang yang memikulnya dengan
sungguh-sungguh dan menunaikannya menurut hak-hak yang terdapat di dalam
jabatan tsb”, (HR Imam
Muslim).
Keahlian
seseorang dalam sebuah bidang baik aktifitas apapun ataupun akademik tidak
berarti pemiliknya memiliki kesolehan individu juga. Terkadang ada seseorang
yang memiliki kesolehan perilaku dan iman, akan tetapi tidak memiliki
kapabilitas atau kemampuan tertentu yang menjadikannya insan produktif dalam
tugas dan pekerjaannya. Seperti nabi Yusuf as, seorang nabi yang amanah, beliau
tidak menawarkan sebuah jabatan untuk dirinya hanya dengan modal mengandalkan
kenabian dan ketakwaannya saja, lebih dari itu beliau juga mengandalkan
keamanahan dan keahliannya.
2. Seorang
pedagang terkadang berbohong dalam menjelaskan barang dagangannya dan
mencantumkan harganya. Perdagangan yang kita kenal dewasa ini dibangun atas
dasar ketamakan yang sangat tinggi, di mana si pedagang berusaha menjual barang
dagangannya dengan harga yang paling tinggi, sementara si pembeli menginginkan
harga yang paling murah, akhirnya egoismelah yang melingkupi aktifitas jual beli,
perdagangan dan marketing mereka. Agama
Islam sangat membenci model perdagangan yang tamak seperti ini, model perdagangan yang dikotori dengan
sia-sia dan pertentangan. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Dua orang yang melakukan jual beli memiliki hak khiyar (yaitu
melanjutkan atau menangguhkan akad
jual belinya) selama keduanya masih belum berpisah, jika keduanya jujur dan berterus terang dengan jual- belinya maka Allah
SWT memberkati jual- beli keduanya,
jika keduanya berdusta dan menyimpan suatu rahasia, maka jika keduanya mendapatkan suatu keuntungan
Allah SWT akan menghilangkan keberkahan jual-beli
keduanya”, (HR Imam Ahmad bin Hambal).
Beliau juga menjelaskan :
“Haram bagi seorang muslim yang menjual barang dagangannya, ia
mengetahui ada cacat padanya, kecuali jika ia memberitahukan kondisi barang
dagangannya”, (HR Imam Bukhori).
Berlaku
dzalim dalam persaksian adalah kedustaan yang paling buruk. Seorang Muslim
ketika sedang memberikan persaksian, maka ia harus berkata benar sekalipun
berlawanan dengan kepentingan orang-orang yang dicintainya. Persaksiannya tidak
boleh menjadikannya menyimpang karena factor kekerabatan dan kesukuan. Perasaan
suka dan takut tidak boleh menjadikannnya menyembunyikan kebenaran yang sedang
dipersaksikannya.
Merekomendasikan
orang-orang tertentu yang akan dipilih baik dalam kursi lembaga legislative,
ekskutif, dan yudikatif , lembaga dewan perwakilan rakyat atau majlis
permusyawaratan rakyat adalah bentuk persaksian. Karena itu memilih orang yang
diragukan baik kemampuannya ataupun kejujurannya adalah sebuah bentuk
kedustaan, saksi palsu, dan tidak berlaku adil. Allah SWT berfirman :
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena
ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjaan", (QS. Annisa : 135).
Dalam sabdanya dari riwayat
Abi Bakroh ra Rasulullah ﷺ menegaskan :
"Ingatlah maukah kalian aku beritahukan tentang dosa-dosa yang paling
besar ? (beliau mengatakannya sebanyak tiga kali), kami menjawab : Ya wahai
Rasulullah, beliau berkata: "Melakukan kemusyrikan kepada Allah, berdosa
kepada kedua orang tua, dan membunuh", beliau saat itu sedang bersandar
kemudian duduk, dan berkata lagi : "berkata palsu dan bersaksi
palsu", beliau masih terus mengulanginya, sampai kami mengatakan :
moga-moga beliau berhenti dari mengulanginya", (HR Imam Bukhori).
Saksi
palsu dan ucapan palsu adalah kedustaan dengan kegelapannya yang tebal yang
tidak hanya dapat menyembunyikan kebenaran, ia bahkan dapat melanggengkan suatu
kebatilan. Bahaya saksi palsu dan ucapan palsu bukan hanya akan menimpa
permasalahan-permasalahan khusus dan individual saja, lebih dari itu bahaya
yang ditimpakannya atas permasalahan-permasalahan umum dan kolektif bagi
seluruh umat begitu besar, membahayakan dan menghancurkan. Karena itulah
Rasulullah ﷺ sangat berkepentingan dalam menjelaskannya
hingga mengulanginya lebih dari tiga kali.
ISTIQOMAH
A.
PENGERTIAN ISTIQOMAH
Istiqomah menurut bahasa adalah pendirian yang teguh atas jalan yang lurus.
Sedangkan menurut istilah, istiqomah adalah bentuk kualitas batin yang
melahirkan sikap konsisten (taat asas) dan teguh pendirian untuk menegakkan dan
membentuk sesuatu menuju pada kesempurnaan atau kondisi yang lebih baik,
sebagaimana kata taqwim merujuk pula pada bentuk yang sempurna.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Mustaqiim adalah ragkaian kata dari
istiqomah. Kalau jalan yang lurus, shirotha mustaqiim telah diberikan, tercapailah sudah istiqomah.
Mengenai pengertian istiqomah itu sendiri, para ulama berbeda pendapat.
Menurut Abu al-Qasim al-Qusyairi, istiqomah adalah sebuah tingkatan yang
menjadi pelengkap dan penyempurna segala urusan. Lantaran istiqomahlah segala
kebaikan berikut aturannya dapat terwujud. Orang yang tidak istiqomah dalam
melakukan urusannya pasti akan sia-sia dan mengalami kegagalan.
Adapula yang berpendapat, istiqomah hanya mampu dilakukan oleh orang-orang
besar karena istiqomah itu keluar dari kebiasaan, bertentangan dari tradisi,
dan melakukan hakikat kejujuran di hadapan Allah SWT. Berangkat dari inilah
Nabi bersabda, “istiqomahlah, sekalipun kalian tetap tidak akan mampu.” (HR.
Ahmad)
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan istiqomah.
Abu Bakar menafsirkan bahwa meraka adalah orang-orang yang tidak menyekutukan
Allah SWT dengan sesuatupun. Ada yang menafsirkan bahwa mereka adalah yang
masuk Islam lalu tidak menyekutukan Allah SWT dengan susuatupun hingga mereka
menghadap kepada-Nya. Yang lainnya menafsirkan bahwa mereka istiqomah di atas
kalimat syahadat, dan tafsiran yang lainnya bahwa mereka istiqomah dalam
melakukan ketaatan kepada-Nya.
Menurut Abu Ali
ad-Daqqaq, ada tiga derajat pengertian istiqomah, yaitu menegakkan atau
membentuk sesuatu (taqwiim), menyehatkan dan meluruskan (iqomah),
dan berlaku lurus (istiqomah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa, iqomah
berkaitan dengan penyempurnaan, dan istiqomah berhubungan dengan tindakan mendekatkan
diri pada Allah SWT.
Sikap istiqomah menunjukkan kekuatan iman yang merasuki seluruh jiwa,
sehingga seseorang tidak akan mudah goncang atau cepat menyerah pada tantangan
atau tekanan. Mereka yang memiliki jiwa istiqomah itu adalah tipe manusia yang
merasakan ketenangan luar biasa walau penampakkannya di luar bagai seorang yang
gelisah. Dia merasa tenteran karena apa yang dia lakukan merupakan rangkaian
ibadah sebagai bukti mahabbah. Tidak ada rasa takut apalagi
keraguan.
Kegelisahan yang dimaksud janganlah ditafsirkan sebagai resah. Ia adalah
metafora (tamsil) dari sikap dinamis atau sebuah obsesi kerinduan untuk
mengerahkan seluruh daya dan akal budinya agar hasil pekerjaannya berakhir
dengan baik atau sempurna.
Dengan demikian,
istiqomah bukanlah berarti sebuah sikap yang jumud, tidak mau adanya perubahan,
namun sebuah kondisi yang tetap konsisten menuju arah yang diyakininya dengan
tetap terbuka terhadap gagasan inovatif yang akan menunjang atau memberikan
kontribusi positif untuk pencapaian tujuannya. Mengomentari masalah ini, Dr.
Nurcholis Madjid berkata, “Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi
bahwa istiqomah mengandung makna yang statis. Memang istiqomah mengandung arti
kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekkan, namun lebih dekat kepada arti
stabilitas yang dinamis”, maka itulah yang disebut istiqomah.
Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten
yaitu kemampuan untuk bersikap pantang menyerah, mampu mempertahankan prinsip
serta komitmennya walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan
dirinya. Mereka mampu memngendalikan diri dan mengelola emosinya secara
efektif. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan
memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap penuh gairah.
Seorang yang istiqomah tidak mudah berbelok arah betapapun godaan untuk
mengubah tujuan begitu memikatnya. Dia tetap pada niat semula.
Istiqomah berarti berhadapan dengan segala rintangan, konsisten berarti
tetap menapaki jalan yang lurus walaupun sejuta halangan menghadang. Iman dan
istiqomah akan membuahkan keselamatan dari segala macam keburukan dan meraih
segala macam yang dicintai. Orang yang istiqomah juga akan dianugerahi
kekokohan dan kemenangan, serta kesuksesan memerangi hawa nafsu. Beruntunglah
orang yang mampu istiqomah dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Khususnya
pada zaman seperti ini, saat cobaan, ujian, dan godaan selalu menghiasi
kehidupan. Siapa saja yang kuat imannya akan menuai keberuntungan yang besar.
Dan siapa saja yang lemah imannya akan tersungkur di tengah belantara kehidupan
dan mengecap pahitnya kegagalan.
Maka mari kita senantiasa meningkatkan iman dan memohon kepada Allah SWT
agar bisa istiqomah dalam beramal shaleh. Terlebih dalam dua hal, yaitu
istiqomah dalam keikhlasan dan mengikuti ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.
B. DALIL-DALIL ISTIQOMAH
1.
QS. Hud (11): 112
Artinya: Maka konsisitenlah sebagaimana telah diperintahkan
kepadamu dan juga orang yang telah taubat bersamamu, dan janganlah kamu
melalampaui batas. Sesungguhnya dia menyangkut apa yang kamu lakukan, maha
melihat.
Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammmad ﷺ untuk konsisten dalam melaksanakan
dan menegakkan tuntunan wahyu-wahyu Illahi sebaik mungkin sehingga terlaksana
secara sempurna sebagaimana mestinya. Dengan demikian, perintah tersebut mencakup
perbaikan kehidupan dunia dan ukhrowi, pribadi, masyarakat dan lingkungan.
Karena itu, perintah ini sungguh sangat berat. Itu sebabnya sahabat Nabi Ibnu
Abbas ra. berkomentar, tidak ada ayat yang turun kepada Nabi Muhammd ﷺ lebih berat dari ayat ini dan
agaknya itu pula sebabnya sehingga Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa surah Hud menjadikan
beliau beruban. Ketika ditanya apa yang terdapat pada surah Hud yang menjadikan
beliau beruban, beliau menjawab, “Perintah-Nya, fastaqim kamaa umirta”.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika turunnya ayat ini beliau bersabda,
”Bersunggguh-sungguhlah, Bersunggguh-sungguhlah”. Dan sejak itu beliau tidak
pernah lagi terlihat tertawa terbahak. (HR. Ibn Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh
melalui al-Hasan)
2.
QS. Fushilat (41): 30-32
Artinya: 30. Sesungguhnya orang-orang yang berkata, Tuhan kami
adalah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat-malaikat
akan turun kepada mereka (dengan berkata) “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kanu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga
yang telah dijanjikan kepadamu”.
31. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidpan dunia dan akhirat
di dalamnya surga kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa
yang kamu minta.
32. Sebagai penghormatan (bagimu) dari Allah yang Maha Pengampun,
Maha Penyayang.
Inilah lanjutan dari bisikan malaikat yang
disampaikan kedalam jiwa orang yang telah mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya
dan tetap teguh memegang pendirian, tidak berubah dan tidak beranjak, sebab
hanyalah Allah tempat berlindung, tidak ada yang lain.
Sambungan bujukan malaikat-malaikat itu yakni
bahwasanya dengan izin dan perintah dari Allah mereka memberikan jaminan
perlindungan bagi orang yang teguh memegang pendirian bertuhan kepada
Allah itu, baik semasa hidupnya di dunia terutama di akhirat kelak. Maka
bertambah condonglah kita kepada pendapat yang telah kita kemukakan diatas
tadi, yaitu bahwa malaikat datang bukanlah semata-mata dikala orang yang teguh
pendirian itu akan meninggal saja bahkan pada masa hidup dalam kondisi apapun.
Fahruddin menulis dalam tafsirnya tentang maksud ayat ini, malaikat memberikan
perlindungan atau pimpinan ialah bahwa kekuatan malaikat itu ada pengaruhnya
atas orang yang beriman denagn membukakan keyakinan yang penuh dalam suatu
pendirian, dan memberikan ketegakkan yang hakiki, yang tidak meragukan lagi,
sehingga jiwa itu berani menghadapi segala kemungkinan apapun.
3.
QS. Al-Ahqaaf (46): 13-14
Artinya: 13. Sesungguhnya orang yang mengatakan Tuhan kami ialah
Allah kemudian mereka tetap istiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tiada pula berduka cita.
14. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. Sebagai balasan
atas apa yang telah mereka kerjakan.
Orang-orang yang mengaku bahwa Allah SWT
adalah Tuhannya dan menjadikan Allah SWT sebagai sentral dalam segala sesuatu.
Lalu mereka istiqomah, teguh, yang merupakan derajat tinggi. Derajat itu berupa
ketenangan jiwa dan ketenteraman hati serta keistiqomahan perasaan. Sehingga
tidak galau dan ragu-ragu karena adnya berbagai pengaruh yang keras, bervariasi
dan banyak. Derajat itu berupa keistiqomahan perbuatan dan perilaku yang
bersifat stabil dan dinamis meskipun banyak bisikan.
4.
QS. Al-Furqon (25): 32
Artinya: Dan
orang-orang kafir berkata, “Mengapa tidak diturunkan Al-Qur’an itu kepada
Muhammasd dengan sekaligus?”. Diturunkan Al-Qur’an dengan cara demikian karena
menetapkan hatimu (wahai Muhammad) dengannya, dan kami nyatakan bacaannya
kepadamu dengan teratur satu persatu.
Ayat ini berkaitan dengan istiqomah hati,
yakni senantiasa teguh dalam mempertahankan kesucian iman dengan cara menjaga
kesucian hati daripada sifat syirik, menjauhi sifat-sifat cela seperti riya dan
hendaknya menyuburkan hati dengan sifat terpuji, terutamanya ikhlas, dengan
kata-kata lain istiqomah hati mempunyai maksud keyakinan yang kukuh terhadap
kebenaran.
5.
QS. Ibrahim (14): 27
Artinya: Allah
menetapakan (pendirian) orang-orang yang beriman dengan kalimat yang tetap
teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Ayat ini berkaitan dengan istiqomah lisan,
yaitu dengan memelihara lisan atau tutur kata daripada kata-kata supaya
senantiasa berkata benar dan jujur setepat kata hati yang berpegang pada
prinsip kebenaran dan jujur, tidak berpura-pura, tidak bermuka-muka, dan tidak
berdolak-dalik. Istiqomah lisan terdapat pada orang yang beriman berani
menyatakan dan mempertahankan kebenaran dan hanya takut kepada Allah SWT.
C.
KARAKTERISTIK
PERILAKU ISTIQOMAH
1.
Mempunyai Tujuan
Sikap istiqomah hanya mungkin memasuki jiwa seseorang bila mereka mempunyai
tujuan atau ada sesuatu yang ingin dicapai, mereka mempunyai visi yang jelas
dan dihayatinya dengan penuh kebermaknaan. Merekapun sadar bahwa pencapaian
tujuan tidaklah datang begitu saja, melainkan harus diperjuangkan dengan penuh
kesabaran, kebijakan, kewaspadaan dan perbuatan yang memberikan kebaikan semata
dengan menetapkan tujuan, mereka mampu merencanakan setiap tindakannya serta
mengelola aset dirinya agar bekerja lebih efisien dan efektif. Dalam bidang
pekerjaan, mereka menghayati benar apa yang menjadi batas tugas dan
tanggungjawabnya dan mereka harus berperan melaksanakan tugas-tugasnya
tersebut. Mereka tidak pernah menunda atau membengkalaikan tugas-tugasnya
karena merasa ada tenggang waktu yang harus dikejar, karena hal itu akan
menghambat bahkan menyimpang dari arah tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah direncanakan.
2.
Kreatif
Orang yang memiliki istiqomah akan tampak dari kreatifitasnya, yaitu
kemampuan untuk menghasilakan sesuatu melalui gagasan-gagasannya yang segar dan
mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar serta tidak takut terhadap
kegagalan, melainkan ia takut terhadap kemalasannya untuk
mencoba. Ciri-ciri orang yang kreatif diantaranya memiliki kekuatan
motivasi untuk berprestasi, komitmen, serta inisiatif dan optimis.
3.
Menghargai Waktu
Waktu adalah aset illahiah yang paling berharga, bahkan
merupakan kehidupan yang tidak dapat disia-siakan, sebagaimana yang difirmankan
dalam QS. Al-Ashr. Ciri-ciri orang yang menghargai waktu
diantaranya tanggung jawab dan disiplin dan tidak
menunda-nunda waktu. Kedua tanda tersebut adalah salah satu ciri orang yang
mempunyai kecerdasan ruhaniyah dan etos kerja yang mengillahi, menepati waktu
dengan penuh rasa waspada dan hati-hati, mempunyai tanggungjawab dengan tidak
menyia-nyiakan waktu melaikan ia menjadikan waktu sebagai lapangan untuk
berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya karena suatu saat hak pakai akan segera
dicabut oleh Sang Pemilik Waktu.
4.
Bersikap Sabar
Sabar merupakan suasana batin yang tetap tabah, istiqomah pada awal dan
akhir ketika menghadapi tantangan dan mengemban tugas dengan hati yang tabah
dan optimis, sehinnga dalam jiwa orang yang sabar terkandung beberapa hal,
yaitu menerima dan menghadapi tantangan dengan tetap konsisten dan
berpengharapan, tetap mampu mengendalikan dirinya, tidak monoton dalam menilai
sesuatu.
D. CONTOH PERILAKU ISTIQOMAH
Kita harus mampu mengambil sikap sikap
keteladanan dari Rasulullah ﷺ dalam hal
keteguhan beliau membawa misi risalah dakwahnya. Suatu saat Abu Thalib membujuk
Rasulullah ﷺ agar berhenti berdakwah. Rsulullah ﷺ dengan percaya diri dan teguh pendirian menjawab, “Wahai pamanku, demi
Allah, kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di
tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan agama ini (dakwah) tidaklah aku akan
meninggalkannya sehingga Allah memberi kemenangan agama ini atau aku hancur di
dalamnya.”
Istiqomah berarti konsisten pada jalan yang
lurus walaupun sejuta halangan menghadang. Ini bukan idealisme, tetapi sebuah
karakter yang melekat pada jiwa pribadi seorang muslim yang memiliki semangat
tauhid laa ilaaha illallahu.Sebagaimana Bilal seorang mu’adzin yang
tetap mengucapkan, “Ahad..Ahad..Ahad..!” walaupun dicambuk dan kulitnya melepuh karena dibakar di atas pasir panas dan ditindih batu yang
besar di atas perutnya. Istiqomah tangguh menghadapi badai berjalan sampai ke
batas, berlayar sampai ke pulau. Kuliah sampai diwisuda dan kalau perlu
berdagang sampai menjadi konglomerat, mengapa tidak ? Untuk mencapai
semua itu, maka kuncinya adalah istiqomah.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Akhlak baik pada diri
seseorang dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya adalah shidiq(jujur),
amanah(dapat dipercaya) serta keistiqomahan seseorang dalam menjalankan perintahNya
dan menjauhi laranganNya.
2.
Seorang muslim hendaknya selalu melakukan
kejujuran sekalipun dirinya mengalami kehancuran, mendapatkan ancaman maupun
tekanan. Sebab, pada hakikatnya di dalam kejujuran terdapat kesuksesan,
keselamatan, dan kemuliaan.
3.
Amanah tidak hanya sebatas
memelihara barang titipan, tetapi amanah adalah sebuah kewajiban, di mana sudah
seharusnya semua orang Islam saling mewasiatinya dan memohon bantuan kepada
Allah SWT dalam menjaganya.
4.
Istiqomah bukanlah berarti sebuah sikap yang
jumud, tidak mau adanya perubahan, namun sebuah kondisi yang tetap konsisten menuju arah yang diyakininya
dengan tetap terbuka terhadap gagasan inovatif yang akan menunjang atau
memberikan kontribusi positif untuk pencapaian tujuannya
DAFTAR PUSTAKA
Hafidz, Imam al-Faqih Abi Zakariya Muhyiddin Yahya an-Nawawi. Riyaadh
ash-Sholihin.Surabaya.
Ilyas Yunahar. 2015. Kuliah
Akhlaq. Yogyakarta : LPPI
Mu’is, Fahrur
dan Muhammad Suhadi. 2009. Syarah Hadits Arbain an-Nawawi. Bandung:
MQS Publishing
Tasmara, Toto.
2001. Kecerdasan Ruhaniyah (Transcedental Intellegence). Jakarta:
Gema InsaniPress.
Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan
Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press.
(diakses 17 Maret 2015)
Komentar
Posting Komentar